Sunday, January 8, 2012

Bandung di Mata Riyadh

Selasa, 15 Februari 2010
Hari ini seperti biasa, aku akan ke kampus menaiki angkot. Pukul 06.30 aku telah berdiri di depan gang menunggu angkot berhenti untuk membawaku. Mata kuliah pertama untuk pagi ini dimulai pukul 7.30. tak jarang bila aku terlambat datang kekampus. Hanya keberuntunganlah yang akan membawaku tepat waktu berada di depan kelas tepat pukul 07.30. Semua itu bergantung pada suasana disebuah tempat yang sebenarnya mudah saja ku prediksi, Ciputat sebuah daerah yang terkenal macet didaerah tangerang selatan. Aku bisa saja sampai disana pukul 7 pagi, dan jarak ciputat dengan kampusku sebenernya hanyalah 1 km saja, namun karena macet yang luar biasa, 1 jam biasanya aku baru bisa sampai di kampus. Ciputat merupakan sebuah kawasan yang terkenal sangat macet dan banyak polusi udara, dimana terdapat sebuah pasar tradisional maupun supermarket dan juga merupakan tempat penghabisan dari angkot yang datang dan menuju Jakarta. Apalagi tak pernah ada yang dinamakan terminal disitu, jadilah semua angkot berbaris rapi seperti pasukan paskibra yang menepi disudut jalan memenuhi sepanjang jalan sekitar pasar itu. entah karena salah penerapan struktur kota atau karena alasan ekonomi yang mengakibatkan pedagang kaki lima berjualan diruas-ruas jalan trotoar yang sedikit memakan ruas jalan raya. Bahkan pembangunan jalan layang yang tadinya dilakukan untuk mengantisipasi kemacetan tak banyak merubah keadaan.

Aku terduduk dipojok belakang mobil karena semua penumpang biasanya memilih jalan kaki hingga menuju pemberhentian bus yang ditujunya. Sebenarnya aku bisa saja turun dan menaiki angkot selanjutnya dengan berjalan kaki kira-kira 200 m, tapi bila lelah sudah menghampiri, aku hanya bisa terduduk diam di angkot. Hanya ada aku dan 2 orang perempuan yang berpenampilan seperi mahasiswa yang seumuran denganku yang asyik mengobrol dari tadi, seputar cowok gebetannya, dosen yang nyebelin dikampus, bahkan album justin bieber yang merupakan penyanyi pendatang baru yang sangat digandrungi cewek-cewek kini. Aku hanya terdiam mengamati semrawutnya keadaan disekitarku. Kemacetan yang tiada henti, tingkah polah orang yang macam-macam dan sedikit mencuri dengar obrolan para kenek bus kota dengan teman-temannya ditepi jalan. Tiba-tiba seorang pengamen masuk. Situasi macet seperti ini memang menjadi lahan untuk mereka mengais rezeki. Seorang anak lelaki kecil, umurnya kira-kira 6 tahun. Bibirnya tipis, matanya tajam dan kulitnya hitam dengan rambutnya yang merah kecokalatan yang lebih mirip rambut jagung. Mungkin karena setiap hari ia bergelut dengan sinar matahari yang terasa lebih parah dibandingkan daerah lain. Pekerjaan yang digelutinya pastilah menutut ia seharian dibawah terik matahari, atau malah terkadang rambutnya sengaja diwarnai, mungkin untuk mengelabui dan menambah kesan anak jalanan yang tidak terurus dan kelaparan. Namun, dibalik wajahnya yang kumal itu pula, raut wajahnya yang manis masih terlihat jelas. Ia mulai memetik ukulelenya. Ia pun mulai menyanyikan lagu berjudul bandung.
"bandung lautan api, aku ke bandung naik kereta api
bandung lautan api, aku ke bandung oh tidak sendiri"
anak itu terus saja bernyanyi dengan tatapan matanya yang memandang kearah luar mobil, mungkin ia malu pada penumpang disini atas pekerjannya. Atau sebenarnya diapun tak ingin terlalu dikenali sebagai pengamen jalanan. Aku terus mengamati gerkan bibir pengamen kecil itu sedangkan 2 mahasiswa tadi masih membicarakan pendapat mereka tentang kedatangan justin bieber kejakarta.
ya, lagu yang enak didengar. Entah mengapa aku lebih suka mendengar lagu itu dibandingkan lagu musisi lain yang sudah mengeluarkan album. Dan kali pertamanya aku mengeluarkan Uang untuk lagi itu bukan karena merasa kasihan padanya.
♥♥♥
Senin, 21 Februari 2011
aku berjalan disebuah trotoar di ciputat. Sinar matahari pagi sudah mulai meninggi sehingga membasahi peluhku. Aku berjalan dan terus berjalan hingga aku menemukan angkot yang menuju kampus. Disamping kananku, banyak mobil-mobil yang merayap memadati jalan raya ciputat. Disebelah kiriku banyak ruko-ruko berjajar mulai dari toko handphone, warung makan, salon, toko penjual unggas dan lainnya. Aku berhenti didepan sebuah salon tempat aku biasa menunggu angkutan umum.
Sambil berteduh dari sengatan sinar matahari aku memandangi sekelilingku.
Tepat didepanku, diseberang sana, pengamen kecil yang aku temui tempo hari itu sedang bercanda dengan teman sebayanya. Aku memperhatikannya. Ia nampak begitu gembira tertawa riang dengan temannya sambil memakan sebuh pisang goreng. Ia makan dengan lahapnya sambil berkelakar. Ia menghabiskan 1 pisang goreng itu dengan cepat lalu merebut air minum temannya. Sesaat ia menengok kiri kanan lalu menyebrang ke arahku dengan berlari. Dengan kondisi macet seperti itu membuatnya makin mudah untuk menyebrang.
Tek. ukulelenya jatuh tepat dihadapanku lalu aku mengambilnya.
"ini" ucapku sambil menyerahkannya. Ukulele itu terlihat sangat kotor dan lusuh, senar2nya sudah terlihat kendor dan ada yang hampir mau putus.
"makasih mba!"
Aku tersenyum
"nama kamu siapa?"
"yafi"
aku mengangguk pelan.
Ia pergi meninggalkanku. Aku masih memperhatikannya hingga ia masuk ke sebuah mobil angkutan untuk mengamen.
Aku masih tak habis pikir dimana perasaan ayah dan ibunya sampai harus membiarkan anak sekecil itu mengamen, bekerja saat harusnya ia sedang belajar disekolah dan bermain dengan teman-teman sebayanya.
♥♥♥
Kamis, 24 Februari 2011
hari ini aku pulang cepat jam 1 siang aku sudah bersiap untuk pulang. Tak ada tugas kuliah yang harus kukerjakan. Namun, tetap saja aku sangat penat dengan rutinitas keseharianku. Apalagi bila diharuskan melewati daerah ciputat, yang terbayang dalam pikiranku saat terucap nama daerah itu adalah panas, macet, polusi udara, dan tentu saja pengamen dan pengemis yang mengais rezeki dengan cara mereka masing-masing.
Aku menaiki angkutan umum. Tepat di depan sebuah plaza, aku melihat yafi dengan ukulelennya itu bingung mencari angkot yang akan dinaikinya. Aku berharap dia akan menaiki angkot tempatku. Tapi sayang, ia lebih memilih angkutan umum dibelakangku. Mungkin karena penumpangnya lebih banyak karena ditempatku berada, hanya ada aku, seorang ibu muda yang membawa anaknya dan seorang siswa smp, memang bukan saatnya aku bertemu dia lagi. Entah mengapa sejak pertama kali aku melihatnya, seperti ada ketertaikan khusus padanya, pada lagu yang dibawakannya atau seseorang yang telah mengajarkan lagu itu padanya
♥♥♥
Rabu, 2 Maret 2011
Pulang kuliah, aku sengaja berjalan ditrotoar daerah ciputat dengan membawa digicam. Aku ingin mengabadikan kehidupan yafi dalam kesehariannya yang penuh rintangan dan bahaya. Aku menyenangi sosok anak kecil itu saat kudengar pertama kali ia menyanyikan lagu bandung. Lagu yang mengingatkanku pada seseorang, riyadh namanya. Aktifis kampus fakultas ilmu komunikasi semster 6. Namun, ia telah meninggal 3 bulan yang lalu akibat penyakit liver yang dideritanya. Satu hal yang selalu membuatku ingat padanya adalah saat aku bersitegang dengannya karena sebuah lagu. Hal yang sepele namun bisa membuatku keluar dari sekret dengan keselnya. Sekret mapala, tempatku, riyadh dan yang lainnya berkumpul atau bahkan berdiskusi untuk membicarakan masalah atau rencana kegiatan mapala. Riyadh amat menyukai lagu tersebut. Ia bahkan merencanakan untuk menjadikannya sebagai mars ukm mapala. Aku tidak menyetujuinya. Selain tidak berhubungan dengan lingkungan, pada dasarnya aku memang tidak menyukai lagu itu. Namun, hanya sebagian kecil yang tidak setuju sedangkan teman-temannya yang sama-sama bergelut didunia politik di kampus malah menyetujuinya.
Empat bulan yang lalu ia masuk rumah sakit, penyakit levernya semakin parah dan ia harus diopname. Aku menjenguknya dengan rere, sahabatku.
"zika, maafin gue ya!" pintanya saat aku berada disampingnya sendiri menemaninya dalam sakitnya, sedangkan rere masih dikamar mandi.
"iya" kutatap matanya yang kini telah sayu, tak terlihat lagi semangat pemberontakan yang selalu ia dengungkan bila ada birokrasi yang tidak sesuai atau keputusan rektor yang menyudutkan mahasiswa kelas menengah kebawah. Badannya yang dulu gagah dan tegap, penuh peluh keringat saat memimpin rombongan mendaki gunung kini hanya bisa terbaring lemah tak berdaya. Hubunganku dengannya memang tak seharmonis sebelum pertengkaran kami dulu.
"lagu bandung itu, lagu kesukaan gue, mungkin gue egois. Tapi gue gak pernah berniat bikin lo kesel" ucapnya semakin membangkitkan memoriku tentang peristiwa lagu bandung itu.
"udahlah ri, gue juga udah gak mempermasalahkan itu kok" ucapku menenangkannya. Terlihat wajah penyesalan darinya. penyesalan yang baru bisa ia ungkapkan sekarang saat ia telah lemah tak berdaya.
"lo dengerin ya, lo pasti suka. Di laci itu ada sebuah CD rekaman gue dan hal lain yang mau gue omongin ke elo"
aku menoleh kearah laci yang ditunjuknya. Disamping tempat tidurnya.terdapat sebuah lemari dengan laci kecil bagian atasnya. Aku membuka dan mengambil apa yang ia maksud. Sebuah CD dibungkus kantong plastik berwarna merah kecil.
Aku lansung menyetelnya saat aku sampai rumah. Akustik lagu bandung langsung terdengar dengan vokal seorang anak kecil. dari suaranya kuyakin anak ini masih berusia dibawah 10 tahun, dari polos dan parau suaranya. Sesaat kemudian berhenti tanpa suara. Setelah itu, ia berbicara padaku melalui CD itu. Ia menceritakan tentang kehidupannya sebagai pengamen yang ia tekuni dari kecil hingga ia besar hingga bisa kuliah diperguruan tinggi. Kisah yang mengharukan, penuh motivasi dan perjuangan. ia seorang yang sangat tegar. aku baru menyadari bahwa lagu bandung itu adalah cerminan kisah hidupnya. Aku mulai mencoba memahaminya dan menyukai lagu itu. Masih terngiang ditelingaku ucapan terakhirnya dalam kaset itu.
"mulanya gue sempet marah karena elo melecehkan lagu itu, karena lagu itu seperti soundtrack dalam kehidupan gue. Tapi gue sadar, elo gak pernah mengetahui kerasnya kehidupan jalanan dan gue mulai mencoba memahami elo sebagai gadis yang lebih menyukai musik-musik barat. Dan kini gue merasa bersalah karena terlalu memaksakan kehendak sendiri. Maafin gue ya, jangan benci gue karena sebenernya dilubuk hati gue yang paling dalam gue sayang sama elo"
aku meneteskan airmata. Aku terharu mendengar semua pernyataan darinya. Terharu pada kisah hidupnya dan pada keadaan yang dulu terjadi antara aku dan riyadh. Dan sangat menyesal kenapa setelah riyadh sakit dan tak berdaya ia baru berani menceritakannya padaku. Sebelum kejadian pertengkaran itu, aku dan riyadh memang memiliki hubungan yang baik. Ia ketua umum mapala yang wibawa walau kadang sedikit egois. Ia mudah dekat dengan siapapun dan sangat pemberani. Ia menjadi garda terdepan dalam membela ketidakadilan. Ia masuk anggota senat dan aktif dalam organisasi partai politik. Aku mengaguminya sebagai sosok leader yang sederhana dan apa adanya. Aku menyukainya semenjak awal ku mengenal kepribadiannya yang tangguh, optimis dan pantang menyerah. Namun semua itu hanya kupendam dalam hati karena kutau kedekatan riyadh dengan fana, sekretaris mapala.
Dua hari setelah kejadian itu, riyadh meninggal. Aku sangat menyesal dengan apa yang telah terjadi namun semua sudah terlambat. Hubunganku yang menjauh dengan riyadh yang kuharapkan bisa kembali seperti dulu saat ia sembuh nanti hanya menjadi harapan kosong. Aku sangat kehilangan apalagi setelahkutau perasaanya dan hubungannya dengan fana yang sebenarnya hanya teman biasa dan kini aku mulai menyukai lagu itu.
Aku memandangi sekelilingku. mencari sosok yafi yang masih belum terlihat. Kubuang jauh pandanganku pada sebuah bis kota yang jaraknya sekitar 50 m dariku. Nampak seorang anak kecil sedang berdiri disampingnya. Menghitung uang yang ia simpan dikantong kumalnya. Ia tak mempedulikan lalu lalang orang yang berjalan disampingnya. Dengan menggantungkan ukulelenya di bahu sebelah kirinya ia melipat asal kantongnya dan menaruhnya dikantong celana dekilnya itu.
Klik..klik..
Aku memotret yafi dari jauh.
"pasti hasilnya bagus" pikirku dalam hati.
Aku memotretnya lagi.
Ia mulai berjalan dengan gaya anak kecil polos dengan terburu-buru. Namun, wajahnya semakin besar dari pandanganku. Oh my God, ia semakin mendekatiku dan belum sempat aku menghindar ia telah menabrakku.
Bukk..
Kameraku jatuh. Ia telah berdiri dihadapanku, wajahnya terlihat tegang.
"m..ma..maaf mba, saya gak sengaja" ucapnya ketakutan.
Aku mengambil kamera digitalku, kameraku langsung mati. Kuhidupkan dengan memencet tombol power tetap saja tak bisa. Aku mulai putus asa.
Aku hanya terdiam memandangi kamera pemberian ayah sebulan yang lalu.
Aku menataf yafi. Wajahnya semakin terlihat tegang dan ketakutan. Ia hanya diam mematung.
"rusak ya mba?”
"yah lumayan, tapi ya udah gak papa" ucapku sedikit kecewa.
"Kerumah saya aja mba, pak lek saya bisa benerin mbak" ajaknya
"gak usah.."tolakku sehalus mungkin
"ayo mbak" ajaknya lagi.
Anak itu menarik tanganku dan hendak membawaku kerumahnya. Aneh, anak sekecil ini sudah mengerti arti tanggung jawab, padahal bisa saja ia tadi langsung kabur, apalagi benda yang dirusaknya ini belum tentu ia sanggup menggantinya bila aku menuntutnya untuk menggantikan. Dengan sedikit memaksa ia membawaku. Kami melewati ruko-ruko dalam pasar dan jalanan yang becek dan penuh sampah. Kami memasuki sebuah pemukiman kumuh yang sangat padat yang terletak dibelakang pasar dan tiba disebuah rumah petak yang terbuat dari bilik.
"duduk mba" suruhnya padaku sambil menunjuk kesebuah bangku usang. sejenis sofa yang busanya pun sudah raib entah kemana dengan lapisan bahan atasnya yang telah menghitam karena terlalu sering terkena rintikan air hujan dan panas juga telah termakan usia. Ia masuk ke dalam rumah yang sangat kecil mungkin hanya sekitar 3x6 meter, dengan atap yang hanya dilapisi genteng tanpa ada plafon. akupun duduk dan mengamati sekelilingku. Banyak rumah yang mengelilingi rumah yafi dan keadaaanya tidak jauh berbeda dengan rumahnya. Sepertinya ini perkampungan kumuh yang dihuni oleh para pengemis pengamen atau masyarakat bawah yang mengais rezeki dari padatnya kehidupan dan kegiatan pasar.
"kamu ini bandel ya, udah berapa kali bapa bilang" seru seorang lelaki dari dalam rumah.
"ampun pa!" teriak yafi.
Tiba-tiba yafi muncul dengan telinga yang dijewer oleh seorang laki-laki.
"adik diapain ama dia?"tanya laki-laki itu padaku.
Aku memandangnya sejenak. Lelaki separuh baya dengan jalan terpincang-pincang telah berdiri dihadapanku. Perawakannya gemuk dan mukanya besar dengan kumis tipis diatas bibirnya. Rambutnya ikal menghias liar diatas kepalanya. Wajahnya sama sekali tak mirip dengan yafi.
"gak saya gak diapa-apain kok, lepasin pak kasihan" pintaku.
Laki-laki itupun melepaskan tangannya dari telinga yafi.
Yafi masih meringis kesakitan. Ia lalu mendekatiku, berdiri dibalik punggungku. Sepertinya ia sangat takut akan kemarahan lelaki ini lagi.
"kamera saya rusak. Kata yafi, pak leknya bisa benerin. Pak leknya ada?"
"oh, jadi yafi gak ambil barang adek?"tanyanya tak percaya. Ia melirik kearah yafi.
Yafi mulai berani menatap lelaki itu
"engga pak"
"pak leknya yafi baru aja pulang kampung. Rumahnya sebentar lagi akan digusur" ujarnya tiba-tiba gundah. Wajahnya berubah menjadi kekhawatiran dan simpati pada apa yang dialami pak leknya yafi.
aku mengangguk mengerti.
"maaf ya dek kalo si yafi sering gangguin adek, dia emang bandel banget, apalagi semenjak riyadh, kakaknya meninggal. Dia juga jadi sering ngamen dijalan, kalo siriyadh masih ada, pasti dia gak bakal ngebolehin yafi ngamen. Walaupun waktu kecil si riyadh itu dulu pengamen" ujar bapak itu mulai cerita. Aku masih merasakan kesedihan yang ia rasakan atas meninggalnya riyadh. Mendengar nama riyadh aku seperti disengat aliran listrik, darahku semakin deras mengalir, aku menelan ludah mengatasi perasaan aneh yang mulai berkecamuk.
"riyadh? Dia meninggal karena apa pak?"
"lever"
astaga, itu adalah penyakit yang telah merenggut nyawa riyadh beberapa bulan yang lalu. aku semakin penasaran apakah riyadh yang dimaksud adalah riyadh temanku. Aku mengaduk tasku mencari ponsel, aku membukanya dan menunjukkan foto riyadh pada lelaki itu.
"apa riyadh yang bapak maksud adalah riyadh yang ini pak? Riyadh darmawan?" tanyaku penasaran.
"iya dek, riyadh yang ini" jawabnya yakin. Ia memandang curiga terhadapku.
Aku terdiam tak percaya.
“adek siapanya riyadh?” tanyanya penasaran.
“saya temannya pak"
aku langsung bangkit dari dudukku dan dengan terburu-buru meninggalkan yafi dan lelaki itu.
Pikiranku menjadi kacau. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa Riyadh dan yafi adalah kakak adik. Lagu bandung itu adalah lagu yang diajarkan riyadh ke yafi, suara anak kecil di cd riyadh itu adalah suara yafi. Yafi dan Riyadh adalah kakak adik. Oh my God. Selama ini, aku dihantui rasa bersalah pada riyadh karena tidak pernah bisa memahami keadaannya dan sekarang aku dihadapan pada potret kehidupan yafi yang pasti tak jauh bedanya dengan riyadh. lagu bandung itu yang mengaitkan riyadh dan yafi dan yang membawaku hingga kesini.
♥♥♥
Rabu, 9 Maret 2011
aku sangat lelah sekali, rencanaku untuk pergi kerumah yafi kuurungkan. Tak terasa sudah hampir satu minggu ini aku tidak melihat yafi. Apalagi tugas kuliah yang menumpuk menharuskan aku pulang kuliah tapat pada malam hari disaat semua roda kehidupan telah bergeser, saat semua pengamen sudah tak lagi mencari makan, kini semua trotoar jalan telah dipenuhi pedagang nasi goring, pecel lele, bubur ayam ataupun bubur kacang ijo dan makanan jalanan lainnya. Tak ada yafi, tak ada kehidupan kaum marginal. Yang ada hanya gambar kelelahan para penghuni angkutan umum yang telah lelah seharian bekerja.
Aku rindu dengan sosok yafi, terlebih pada Riyadh. Hanya pada yafilah aku bisa menumpahkan semua kasih sayang yang seharusnya untuk Riyadh. Yafi pastilah Riyadh saat kecil dulu, seorang anak kecil yang tak pernah lelah mengejar mimpi, melakukan apapun demi cita-citanya.
Aku pun merencanakan hari minggu akan kerumahnya. Saat aku tidak lagi disubukkan dengan rutinitas maupun tugas kuliah yang menumpuk. Saat yafi pasti sedang menaiki satu angkot ke angkot yang lain memetik ukulelenya, menyanyikan lagu bandung dengan suaranya yang parau dan basah.
♥♥♥
Minggu, 13 Maret 2011
Siang hari aku kerumah yafi. Aku sudah membelikannya ukulele yang baru dan sebuah kaos yang kuharap pas dibadannya. Tak lupa sedikit makanan ringan dan susu yang masih sangat diperlukan untuk tumbuh kembang yafi. Aku memasukkanya dalam tas ranselku, begitu juga kamera digitalku yang telah diperbaiki.
Aku sudah membayangkan ekspresi yafi bila melihat ukulele yang menjadi sumber penghidupan ataupun inspirasinya kini telah digantikan yang baru. Senyuman manis mengembang dari kedua bibirnya. Apalagi aku sedang mengupayakan ayah yafi yang sudah tua dan cacat itu untuk bekerja ditempat ayah bekerja, pekerjaan yang ringan namun menghasilkan dan halal.
Aku melewati pasar yang selalu dikerumuni para pembeli yang ingin sekedar belanja atau hanya menawar barang saja. Pasar bagian bawah adalah tempat para penjual sayur mayur, daging, buah dan peralatan dapur. Sehingga tak mengherankan bila bau yang ditimbulkan tidak sedap lagi. Apalagi bila hujan turun, maka lantai bawahnya akan sangat licin dan kotor. Aku berjalan perlahan melewati ibu-ibu yang sedang cerewetnya menawar daging. Sekitar kira-kira 20 meter aku melewatinya, aku berbelok kekiri, kesebuah gang kecil. Ya Allah, aku tercengang. Baru seminggu yang lalu aku kerumahnya. Banyak rumah-rumah yang terbuat dari bilik masih berdiri tegak dan sekarang semuanya rata dengan tanah. Hanya ada sisa-sisa puing rumah mereka. Rupanya rumah mereka telah digusur dan tanah mereka telah diekskusi.
Kejam, mereka hanyalah orang kecil. Masih punya rumah saja merupakan sebuah nikmat yang besar bagi mereka. Tapi orang-orang yang tidak punya hati nurani itu telah mengusir mereka dari tempat mereka bernaung walau dengan alasan apapun.
Aku masih diam terpaku ditengah-tengah puing rumah yafi.
Seorang lelaki setengah baya menghampiriku.
"mau cari apa dek?"tanyanya heran melihatku.
"yang tinggal disini kemana pak?"
"si yafi?"
aku mengangguk.
"dia udah pulang kampung, sehari setelah penggusuran rumahnya. Emang adek siapanya?"
"saya kakak angkatnya"jawabku.
Aku pergi dengan perasaan sedih dan menyesal. Sedih karena tak bisa bertemu lagi dengan yafi dan keluarganya. Menyesal andai waktu itu aku kerumahnya, mungkin aku bisa menemuinya untuk terakhir kalinya. Kenapa setelah kehilangan riyadh aku harus kehilangan yafi juga. Aku baru menyadari bahwa aku menyayangi riyadh sesaat setelah dia meninggal dan kini baru saja aku ingin lebih dekat dengan yafi, namun ia sudah lebih dulu pergi. Dengan lanngkah gontai dan kecewa aku membawa semua yang ku bawa untuk yafi. Mudah-mudahan yafi bisa mendapatkan kehidupan yang layak dikampungnya, ia bisa sekolah seperti anak yang lain dan tidak perlu bersusah payah berjemur di bawah terik matahari hanya demi uang yang tidak seberapa..

No comments:

Post a Comment